Curahan Hati Seorang Mahasiswa Psikologi


Tahukah kamu, Teman?
Hari ini bertambah lagi satu orang yang memberikan reaksi klise setelah tahu aku anak psikologi, “Berarti bisa baca aku dong! Karakterku gimana?” Aku bukan peramal, aku ga bisa nebak gimana karakter orang. Aku juga bukan psikolog yang bisa analisis karakter orang dengan pasti. Aku MASIH mahasiswa psikologi! Hey, aku masih belum punya cukup ilmu buat baca karakter kamu! Bahkan ngobatin diri sendiri aja aku belum mampu.

Tahukah kamu, Teman?
Aku dilema setiap kali kamu curhat dan meminta pendapat. Bukan, bukannya aku ga mau membantu atau memberikan solusi atas masalahmu. Aku ingin kamu tahu kalau dengan kuliah di psikologi, bukan berarti aku tau semua jawaban pertanyaan, bukan berarti aku menjadi orang hebat yang bisa menyelesaikan setiap masalah dengan bijak.

Tahukah kamu, Teman?
Ketika kamu curhat dan mengumpat-ngumpat, mengatai-ngatai si “cowok jahat”, aku ingin ikut mendukungmu, menyalahkan semuanya pada “cowok jahat” itu. Itu kan yang kamu butuhkan? Kamu hanya ingin didengarkan dan dibenarkan. Aku yakin bahwa tanpa aku beritahu pun kamu akan sadar bahwa kamu tidak sepenuhnya benar dan si “cowok jahat” itu tidak sepenuhnya patut disalahkan.

Tahukah kamu, Teman?
Di psikologi aku diajarkan bahwa itu tidak seharusnya aku lakukan. Kami hanya diperbolehkan untuk mendengar, bukan memberikan penilaian mana salah dan mana benar. Aku hanya harus mendengarkan dan memberikan perhatian, serta sesekali memberikan tanggapan singkat tanpa penilaian agar komunikasi terus berjalan. Sebagai seorang mahasiswa psikologi, aku diajari untuk berempati dan bukan bersimpati. Aku diajari untuk ikut merasakan apa yang orang lain rasakan dengan tidak ikut larut dalam perasaan. Tapi susah bagiku untuk berempati, aku belum pernah merasakan apa yang kamu rasakan, jadi bagaimana caranya agar aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan? Sebagai seorang mahasiswa psikologi, aku tidak bisa ikut berkoalisi denganmu dan beroposisi padanya. Aku harus netral, Teman…

Tahukah kamu, Teman?
Andai kamu cerita di sini, di hadapanku, aku bisa meberikan perhatian penuh dan memberikan tanggapan singkat -“Oh, gitu ya? Terus gimana?”-, seperti yang selama ini aku pelajari. Aku juga bisa memberikan tatapan lembut padamu, menepuk pundakmu, bahkan memelukmu. Tapi kamu cerita lewat SMS, Teman… Tidak mungkin aku membalas SMSmu yang super panjang dengan jawaban singkat, “Oh, gitu ya? Terus gimana?” Kalau aku balas begitu, kamu akan merasa terabaikan, kan? Tahukah kamu? Aku mengalami dilema peran, sebagai mahasiswa psikologi dan sebagai seorang teman. Karena itu, aku harus memutar otak dan berpikir lama untuk bisa membalas satu SMS-mu. Di saat kamu galau dan membutuhkan dukungan, tidak mungkin aku membiarkan SMS-mu menggantung lama tanpa jawaban.

Maafkan aku Teman, kalau SMS-ku yang lalu terkesan asal-asalan. Aku benar-benar bingung dan tidak tahu jawaban apa yang harus aku berikan. Maaf kalau kamu merasa aku tidak bisa mendukungmu secara total. Seandainya aku di sana, aku rela menemanimu bercerita dan menangis sepanjang malam. Walau mungkin tidak bisa membantu, sebisa mungkin aku akan berusaha untuk membuatmu merasa nyaman. Maafkan aku teman…

Hujan


Langit menangis lagi siang ini.
Tanah basah...
Daun basah...
Aku pun ingin rambutku basah.
Tapi aku terjebak di ruang kelas ini.
Dosen berbicara, teman-teman saling bercerita.
Terbang...
Melayang...
Pikiranku melayang ke sore itu.
Sambil duduk di jok belakang kulingkarkan lengan memeluk pinggangmu.
Di bawah tudung mantel aku membangun dunia kita.
Rintik hujan tak terdengar.
Dinginnya pun tak mampu menjalar.
Hangat...

Aku suka hujan.
Hujan selalu mengiringku pada segala angan tentangmu.
Aku benci hujan.
Dia membuatku semakin merindukanmu...

**Sebuah catatan kebosanan di kelas Riset Organisasi.

Bulan Kapan Datang?



Hahay… Hari ini udah hari ke-24 bulan Ramadhan loh! Artinya puasa tinggal 6 hari lagi dan tepat minggu depan kita udah ngrayain hari raya Idul Fitri. Tentang  datangnya Idul Fitri ini saya benar-benar mengalami dilema. Di satu sisi saya sedih bulan Ramadhan udah mau abis. Soalnya saya yang jarang ibadah ini, bisa dapat banyak keuntungan yang luar biasa! Bayangin aja, dengan porsi ibadah yang biasa-biasa, saya bisa dapat pahala berlipat ganda, apalagi kalo saya meningkatkan ibadah saya, wuiiihh ga bisa kebayang deh untung yang bisa saya dapat daripada hari-hari biasa. Walopun sebenarnya saya tau belum tentu ibadah saya dapat nilai maksimal, tapi kan namanya juga usaha, boleh dong kalo saya ngarep banyak-banyak. *:hammer:* Makanya saya sedih kalo harus pisah sama bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. *Hiks… T,T* Di sisi lain saya seneng kalo udah lebaran. Kalo lebaran saya bisa kumpul-kumpul sama keluarga besar. Dan itu artinya apa? Saya panen uang sakuuuuu… *Hore horeeee… \>,</*
Di bulan Ramadhan yang tinggal sedikit ini, nggak cuma itu saja dilema  yang saya alami. Saya sekarang lagi bingung banget soalnya udah 30 hari lebih si bulan belum bertamu ke saya. Si bulan ini, kalo udah bertamu ke saya pasti lamaaaa banget! Minimal 9 hari, padahal temen-temen saya yang lain Cuma 4 hari udah say goodbye sama itu bulan. Nggak tau juga deh kenapa bisa gitu. Dia nyaman kali kalo sama saya, ngerasa selalu diperlakukan dengan baik, makanya nggak mau cepetan pulang. Jadi kalo misalnya si bulan besok tiba-tiba datang, saya tidak bisa shalat selama minimal 9 hari ke depan. Artinya, saya nggak bisa I’tikaf tiap malam ganjil buat menjemput Lailatul Qodar *Hiks hiks huaaaa… T,T airmata bercucuran* dan saya juga nggak bisa ikutan Shalat Ied. Padahal kan momen paling menyenangkan waktu lebaran adalah momen pas siap-siap shalat Ied, pas shalat Iednya, sama pas sungkem abis shalat *selain momen terima amplop tentunyaaaa… :hammer:*. Jadi Bulan, saya mohon dengan sangat ke kamu. JANGAN DATANG SEKARANG!!! Okay???
Ngomongin si Bulan ini, nggak tau kenapa akhir-akhir ini dia jadi nggak teratur ngunjungin saya. Bulan lalu dia sempat dating sih, tapi ya itu bulan sebelumnya dia sempat nggak dating 3 bulan. Jadi heboh dong saya >,<. Saya ini dari SMA kalo telat diabsen sama si Bulan suka bingung sendiri, takut hamil. Padahal saya nggak ngapa-ngapain loh! Beneran! Jangan kasih tatapan menuduh gitu dong! Saya itu suka banget pinjem kolornya mas sama bapak saya. Saya tau sih kalo memakai kolor laki-laki tidak akan menyebabkan kehamilan, tapi tetep aja kebegoan saya memaksa saya buat takut hamil. Haha… Nah, waktu si bulan telat dating 3 bulan kemarin itu, saya lagi di rumah. Pasti tau dong gimana jadinya anak kost kalo lagi pulang kampong. Yang tadinya di kosan Cuma makan sekali sehari, pas pulang pasti deh langsung perbaikn gizi. Secara di kosan kalo mau beli makan harus mikir uang, kalo di rumah kan mau apa tinggal minta. Pola hidup yang berubah drastis dari kosan ke rumah ini berdampak buruk pada perut saya. Perut saya yang tadinya singset dan rata *mblendung Cuma pas abis makan* jadi buncit terus. Saya udah rutin setor tiap pagi, tapi itu buncit tetep aja nggak mau kempes. Dengan kondisi telat didatengin bulan selama 3 bulan plus perut yang membuncit, mau ga mau otak saya jadi mikir parno! Gimana kalo saya hamil??? :hammer: Saya yang waktu itu baru aja minta kolornya Om yang udah ga kepake sampe bilang gini sama Tante istrinya om itu, “Pokoknya nanti kalo saya hamil, Om yang harus tanggung jawab!” Huahaha… Sampe sekarang saya masih suka senyum-senyum sendiri kalo inget kebegoan saya waktu itu. ;-P

Friend Aversion



Hari ini entah kenapa saya tiba-tiba teringat pada seorang  teman yang sangat suka menceritakan masa lalunya yang gilang gemilang pada saya. Cerita tentang masa-masa dia masih di sekolah dasar dan selalu menjadi juara kelas, memenangkan berbagai perlombaan cerdas cermat, siswa teladan, hingga dinobatkan menjadi mascot sekolah. Okay, I think it’s fine if she just told me this story once, but she has told me this story more than 10 times. It’s so boring, you know?
Setiap kali dia certain itu, saya Cuma jawab, “Aku waktu SD jarang kok jadi juara kelas. Paling cuma sekali dua kali.” Tapi sebenarnya dalam hati saya ingin teriak, “Oke, terserahlah masa lalu lo kaya gimana, yang jelas sekarang tu gue yang lebih pinter dari lo!” Saya memang sombong sih, makanya pengen ngomong gitu, tapi ya sebenarnya itu adalah ekspresi dari kebosanan dan kekesalan saya karena disuguhi cerita yang sama terus menerus. Kalo dalam psikologi ada istilah taste aversion, yaitu ketika kita baru saja merasakan sebuah rasa (taste) dan tidak lama kemudian muncul kejadian buruk yang menimpa diri kita, rasa tersebut kemudian akan memunculkan efek tidak suka atau bahkan fobia. Kemarin saya baru membaca novel Agatha Christie yang saya pinjam di Saeroji gara-gara kartu PBK saya diskors 1 minggu setelah telat 3 hari. Judul novelnya adalah “Dan Cermin pun Retak…”. Dalam novel ini dibahas mengenai konsep aversion tersebut, yaitu tentang masa kecil seorang polisi yang menerima kabar bahwa ibunya menjadi korban meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika dia sedang makan puding dengan vla yang meleleh. (puasa-puasa ngetik kalimat ini bikin saya ngiler… :hammer: ) Setelah kejadian itu, setiap kali dia melihat puding, badannya langsung kaku dan menggigil ketakutan. Hal ini terus terjadi hingga dia dewasa.
Nah, masalah taste aversion ini juga bisa terjadi bahkan pada rasa masakan yang sangat kita sukai. Misalnya kita sangat suka es krim rasa coklat dan suatu hari ibu pulang dengan membawa 1 galon es krim. Karena takut nanti es krimnya bakal dihabisin kakak, kita pun makan es krim itu sebanyak-banyaknya hingga kekenyangan dan akhirnya muntah. Efek buruk yang terjadi, yaitu muntah, bisa membuat kita menghindari es krim rasa coklat karena kita akan berpikir bahwa kita bisa muntah jika memakannya. Di sinilah konsep taste aversion terjadi. Sepertinya terdengar tidak mungkin kita menjadi benci terhadap makanan yang kita suka hanya gara-gara muntah. But believe me! That really happens. Di buku PSYCHOLOGY-nya Ciccarelli (buku yang paling saya suka di Psikologi), seorang wanita menjadi fobia terhadap suatu jenis kacang-kacangan (saya lupa tepatnya) karena suatu hari dia pernah makan itu kebanyakan dan akhirnya muntah. Kemudian setiap kali dia melihat makanan itu atau merasakannya, perutnya langsung mual dan mau muntah.
Pertanyaannya di sini adalah, “Apa hubungannya cerita saya dengan aversion?”. Kalo dari pargraf sebelumnya kita bisa mengalami aversi bahkan kepada sesuatu yang kita sukai karena terpapar hal itu secara terus menerus, apalagi pada sesuatu yang kita tidak sukai (netral bukan benci), mungkin saja aversi bisa cepat terjadi. Saya yang sebelumnya netral terhadap cerita teman saya menjadi bosan dan akhirnya berujung pada aversi. Saya pun kemudian mulai menghindari teman saya tersebut, untuk menghindari cerita-cerita yang selalu diulang olehnya. Mungkin ini yang namanya FRIEND AVERSION :hammer:. Kalau hanya satu cerita itu yang terus menerus dia ulang, saya akan bersikap biasa saja. Masalahnya dia suka mengulang bermacam-macam cerita yang sama. Kenapa saya tidak melakukan cara termudah yaitu bilang pada dia bahwa saya pernah mendengar cerita tersebut? I had done it and it didn’t work!
Saya membahas masalah ini bukan karena saya benci teman saya yang itu, bukan… Menurut saya, daripada dia terus-terusan mengulang cerita yang sama dengan menghabiskan banyak waktu karena sekali dia bercerita bisa sangaaaat panjang, lebih baik waktunya yang berharga itu dia gunakan untuk belajar sehingga ada hal lain yang bisa dia ceritakan pada saya, tidak hanya masa lalunya yang gilang gemilang, namun juga tentang nilai akademiknya yang membanggakan. Atau mungkin lain waktu kami bisa membahas masalah kuliah bersama dan tidak hanya bernostalgia.
Copyright 2009 it's just me. All rights reserved.
Bread Machine Reviews | watch free movies online by Blogger Templates